الجمعة، 3 مايو 2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna(syumul ). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan  masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi).
Dalam pembahasan kali ini saya akan membahas tentang jialah, jialah ini merupakan 
pemberian upah (hadiah) atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari. Jialah ini juga dapat dijadikan sebagai akad.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari jialah?
2.      Apa sajakah rukun dan syarat jialah?
3.      Apa landasan hukum yang menguatkan dan membolehkan jialah?
4.      Bagimana aplikasi jialah dalam perbankan?
1.3  Tujuan Masalah
1.      untuk memahami pengertian jialah
2.      untuk mengetahui rukun dan syarat jialah
3.      untuk mengetahui landasan hukum yang menguatkan dan membolehkan jialah
4.      untuk mengetahui aplikasi jialah dalam perbankan

BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Ji’alah
Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah, Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit. Istilah lain dalam pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan teks dan konteksnya.[1]
Ji’alah adalah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya, seseorang kehilangan kuda, dia berkata,”Barang siapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.[2]
Al-ju’l ialah pemberian upah (hadiah) atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari.[3]
Kata jialah secara bahasa artinya mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq :
عقد على منفعة يظن حصوله                                                                                             
Artinya : “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”.

Istilah jialah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.[4]
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alah berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.[5] Meskipun ji'alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskanoleh Ibnu Qudamah, ulama Mazhab Hanbali, ia dapat dibedakan dengan Ijarah dari lima segi.  Pertama, pada ji'alah upah atau hadiah yang dijanjikan hanya boleh diterima oleh orang yang menyatakan sanggup untuk mewujudkan apa yang menjadi objek pekerjaan atau perbuatan tersebut, jika pekerjaan atau perbuatan tersebut telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang telah  diberikannya meskipun pekerjaan itu belum sempurna dilaksanakannya. Kedua, pada ji'alah terdapat unsur gharar (penipuan, spekulasi, untunguntungan) karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan ataupun cara dan bentuk penyelesaian pekerjaannya. Sedangkan dalam ijarah, batas waktu penyelesaian, bentuk pekerjaan, dan cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam perjanjian, sehingga orang yang melaksanakan pekerjaan dalam ijarah harus mengerjakan pekerjaan yang dijadikan objek perjanjian sesuai dengan batas waktu dan bentuk pekerjaan yang disebutkan dalam transaksi. Dengan kata lain, yang dipentingkan dalam ji'alah adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu penyelesaian ataupun bentuk atau cara mengerjakannya. Ketiga, pada ji'alah tidak dibenarkan adanya pemberian imbalan upah atau     hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan. Sedangkan dalam ijarah, pemberian upah terlebih dahulu dibenarkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, baik sebelum pekerjaan dilaksanakan maupun ketika pekerjaan sedang berlangsung. Keempat, tindakan hukum yang dilakukan dalam ji’alah bersifat sukarela. Sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan (fasakh) selama pekerjaan belum dimulai tanpa menimbulkan akibat hukum, sedangkan ijarah merupakan transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Dengan demikian, jika perjanjian tersebut dibatalkan, maka tindakan itu menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan, salah satu pihak yang melakukan perjanjian ijarah dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang lain jika perjanjian ijarah tersebut dibatalkan. Kelima, dari segi ruang lingkupnya, Mazhab Maliki menetapkan kaidah bahwa semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ji'alah boleh menjadi objek dalam transaksi ijarah, tetapi tidak semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ijarah dibenarkan pula menjadi objek dalam transaksi ji'alah. dengan kata lain, ruang lingkup ijarah lebih luas dari pada ruang lingkup ji'alah. berdasarkan kaidah tersebut maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, atau menjadi pembantu rumah tangga selama sebulan misalnya, dapat menjadi objek dalam transaksi ijarah., tetapi tidak menjadi objek dalam transaksi ji'alah. Kedua contoh perbuatan tersebut tidak sah menjadi objek transaksi ji'alah karena pihak yang menjanjikan upah pekerjaan tersebut telah mendapatkan manfaat dari kedua pekerjaan tersebut meskipun sumur yang digali tidak sampai menemukan air, atau meskipun pembantu rumah tangga itu belum cukup sebulan bekerja, padahal pihak yang melakukan pekerjaan tersebut tidak berhak menerima hadiah atau upah sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakannya dengan sempurna.

B.  Rukun dan Syarat Jialah
Rukun pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:[6]
1.      Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu :
                          i.            Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
                        ii.            'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
2.      Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan barang atau orang lain.
3.      Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
4.      Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).

Syarat Jialah
1.     Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
2.     upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
3.     Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan yang haram dan diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek transaksi dalam akad ji’alah
4.     Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum), di samping tentunya harus halal.[7]

Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum,” Siapa yang memndapatkan barangku akan ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.

C.  Landasan Hukum
Jumhur fukaha sepakat bahwa hukum jialah mubah. Hal ini, didasari karena jialah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal lain, yang masih termasuk jialah rasulullah membolehkan memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan Al-Qur’an dan surat al-fatihah.
 Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72.
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾      

“Kami kehilangan piala raja maka siapa yang dapat mengembalikannya, maka ia akan mendapatkan bahan makanan seberat beban unta. Dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf : 72)
Sabda nabi saw. kepada para sahabat yang mendapatkan jialah berupa sekawanan kambing karena mengobati orang yang tersengat,” Ambillah ju’alah (upah) dan berikanaku satu bagian bersama kalian”.(HR. Bukhari)
Dalil dari As Sunnah adalah hadits Abu Sa'id berikut, ia berkata:
انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا، حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ، فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الحَيِّ، فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ شَيْءٌ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلاَءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ، فَأَتَوْهُمْ، فَقَالُوا: يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ، وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لاَ يَنْفَعُهُ، فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ، فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ» ، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Sebagian sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata, "Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?" Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, "Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?" Lalu di antara sahabat ada yang berkata, "Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami." Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca "Al Hamdulillahi Rabbil 'aalamiin," (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, "Bagikanlah." Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, "Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau perintahkan kepada kita." Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, "Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?" Kemudian Beliau bersabda, "Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba pemimpin merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah, secara syar’i, akad ji’alah diperbolehkan. Dengan landasarn kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya.
Kedudukan transaksi upah (al-ju’l) adalah segala bekerja bentuk pekerjaan (jasa), yang pemberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab, jika pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-maj’ul) gagal mendatangkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju’l), ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-ja’il) mengambil hasil kerja calon penerima upah (al-maj’ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia telah melakukan suatu kezaliman.[8]  

D.  Operasional Hukum Ju’alah
Pelaksanaan dalam system pengupahan menurut Al-Jazairi di antaranya mengandung hukum-hukum pengupahan (ju’alah) yaitu sebagai berikut[9]:
1.    Pengupahan (ju’alah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak yang bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembetalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
2.    Dalam pengupahan (ju’alah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata,” Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia akan mendapatkan hadiah satu dinar”. Orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut walaupun menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.    Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.
4.    Pengupahan (ju’alah) tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi, seseorang tidak boleh berkata,”Barang siapa menyakiti atau memukuli si Fulan atau memakinya, ia mendapatkan upah (ju’alah) sekian”.
5.    Barang siapa menemukan barang tercecer atau barang hilang atau mengerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalua di dalamnya terdapat upah (ju’alah), ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang yang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi, ia tidak berhak mendapatkan ju’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya, sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.     Jika seseorang berkata,”Barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas upah(ju’alah),” maka ju’alah seperti itu diperbolehkan , kecuali jika ia berkata,”Baranng siapa makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas ju’alah,” ju’alah seperti ini tidak sah.
7.    Jika pemilik ju’alah dan pekerja tidak sependapat tentang  besarnya ju’alah maka ucapan yang diterima adalahucapan pemilik ju’alah dengan disuruh bersumpah.jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ju’alah maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.

E.  Pelaksanaan Jialah
Teknis pelaksanaan jialah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.      Ditentukan oleh orangnya.
Misalnya : si Budi dengan sendirinya mencari barang yang hilang.
2.      Secara umum, artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya : seseorang berkata “Siapa saja yang dapat mengembalikan barangku yang hilang maka akan aku beri upah sekian”.

F.   Pembatalan Jialah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ji’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
Pembatalan jialah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan jialah atau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.[10]

G.      Aplikasi Pada Perbankan
Aplikasinya  ialah  pada  SBIS (sertifikat Bank  Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah (Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan).  Sesuai dengan  FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 64/DSN-MUI/XII/2007  tentang SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH JU’ALAH ( SBIS JU’ALAH ) menetapkan bahwa Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ju’alah, dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah. Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter
melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.    Pengupahan (ju’alah) menurut bahasa ialah apa yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya, sedangkan pengupahan (ju’alah) menurut syariah, Al-Jazairi (2005:525-526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseorang bisa berkata,” Barangsiapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah(upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit. Istilah lain dalam pengupahan adalah ijarah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan teks dan konteksnya.
2.    Rukun dan syarat pengupahan (ju’alah) adalah sebagai berikut:
a.       Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
b.      Orang yang menjanjikan memberikan upah.
c.       Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
d.      Upah harus jelas,
3.    Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 72.
4.    Aplikasinya  ialah  pada  SBIS (sertifikat Bank  Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).



DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly,H. Abdul Rahman, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Nawawi, H. Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Galia Indonesia, 2012.
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2008.
Rusyd,Ibnu, Bidayatul Mujtahid analisis fiqih para mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.




[1]  H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Galia Indonesia, 2012), hlm.188-189.
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar BAru Algesindo,2008), hlm. 305.
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid analisis fiqih para mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm.101.
[4] H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm.141.
[6]  H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, hlm. 143.
[7] Ibid.,
[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid analisis fiqih para mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm.102.
[9]  H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Galia Indonesia, 2012), hlm.192. 
[10]  H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm.143.